Monday, 30 May 2016

Setelah Jam Kerja Usai

Sebagai seorang penggemar berat kisah-kisah horor, saya tidak bisa tidak melirik rak buku horor ketika sedang jalan-jalan ke toko buku. Seringkali saya dibuat kecewa oleh penampakan desain sampul yang terlalu mengumbar darah dan penampakan-penampakan menyeramkan. Saya lebih tertarik kepada sesuatu yang subtle, horor yang bersifat psikologis.

Akhirnya... terwujud juga keinginan terpendam saya untuk menggarap buku lokal bergenre horor. Buku ini adalah kumpulan cerpen karya lima penulis Indonesia yang sudah teruji kepiawaian menulisnya.


Judulnya... After Office Hours
Dari judulnya saja sudah bisa diketahui kan benang merah dari cerpen-cerpen dalam buku ini? ^^
Yang jelas, kisah-kisahnya bikin saya makin yakin untuk tidak lembur di kantor kecuali sangat sangat terpaksa.....

Di dalam buku ini juga ada 10 ilustrasi karya Kang Agung Wulandana. Ilustrasinya keren semua dan tidak ada yang membuat mual-mual kok (setidaknya menurut standar saya...)

Beberapa penulis yang berkontribusi dalam buku ini sudah saya kenal secara personal dan saya sudah pernah membaca karya-karya mereka semua sebelumnya. Mungkin kawan-kawan pun telah mengenal mereka?

Dari kiri ke kanan:

Jika melihat track record para penulis ini, mungkin kawan-kawan akan merasa heran ada nama Prisca Primasari... karena selama ini dia terkenal menulis kisah-kisah roman. Yah, saya yang memaksanya menulis cerpen horor...mwahahaha... #dikeplak #sungkemsamambakprisca
Saya yakin Mbak Prisca bisa menulis cerpen horor karena beberapa kisah yang dia tulis memiliki atmosfer kelam dan melankolis. Penasaran kan sama cerpen yang Mbak Prisca tulis untuk buku ini..... #fufufu

Harapan saya... After Office Hours dapat diterima dengan baik oleh para pembaca Indonesia, sehingga ada peluang untuk menerbitkan buku-buku horor lainnya. Saya senang mengerjakan buku ini... dan sangat berterima kasih pada para penulis yang bersedia direpotkan ^^ Semoga ke depannya tetap terjalin hubungan baik.

Kawan-kawan, tunggu bukunya selesai dicetak dan tersebar di toko-toko buku ya... :)

Friday, 27 May 2016

Penulis yang Tidak Mau Membaca

Seorang editor buku sudah tentu akan harus berhubungan dengan penulis dan calon penulis. Bagi saya yang socially-awkward, ini bukanlah sesuatu yang mudah. Perlu energi lebih. Perlu banyak menarik nafas dalam-dalam dan putar otak dalam mengolah kata-kata yang diucapkan (dan ditulis). Bahasa yang digunakan harus sopan tapi tidak terlalu kaku.

Alhamdulillah, selama ini saya berhubungan dengan para penulis yang tidak sulit dihadapi. Istilah Bahasa Jawanya, ndak neko-neko. Apalagi jika penulisnya sudah saya kenal secara personal (sebelum berhubungan secara profesional)... rasanya hidup ini bahagia.

Lucunya, yang neko-neko malah calon penulis.

Ada tipe calon penulis yang tidak terima naskahnya ditolak karena dia merasa tulisannya sudah bagus.
Padahal... dia belum pernah meminta feedback orang lain tentang naskahnya atau dia tidak membandingkannya dengan tulisan-tulisan karya orang lain.

Saya paling malas berurusan dengan tipe penulis seperti ini. Satu hal yang saya yakini: seorang penulis yang baik haruslah seorang pembaca yang baik.


Yah, mungkin ada pengecualian. Mungkin ada penulis-penulis di luar sana yang tidak suka membaca, tapi buku-buku yang mereka tulis laris manis di pasaran. Tapi, berapa persen yang seperti itu?

Sepengamatan saya, tipe penulis seperti ini, yang tidak mau membaca, yang merasa tulisannya paling bagus sedunia, biasanya juga tidak mau terima masukan dari editor. Wah, susah deh. Karena penulis dan editor harus bekerja sama untuk waktu yang tidak sebentar dalam menggarap suatu buku...

Ilustrasi dari prettybooks.tumblr.com via Pinterest

Oke, mungkin sang penulis supersibuk dan tidak punya waktu untuk membaca. Tapi tetap saja, menurut saya dia harus meluangkan waktu. Dalam menulis, orang butuh riset (sekalipun yang ditulisnya itu fiksi), dan untuk itu perlu banyak membaca.

Penulis yang tidak mau membaca, bagaikan katak dalam tempurung. Dunia dan wawasannya sempit. Merasa paling hebat, padahal di mata publik dia bisa jadi mempermalukan diri sendiri.

Semoga kawan-kawan saya (sekalipun bukan penulis) tidak ada yang menolak membaca. Kalau pun ada, semoga dia segera insyaf. Aamiin.