Ada acara Nonton Bareng film Inferno di Lotte Shopping Avenue, dan saya bersama beberapa rekan datang sebagai perwakilan redaksi, berhubung novel Inferno diterbitkan oleh kami. Acara ini terselenggara berkat kerjasama beberapa komunitas, yakni Indo Dan Brown Community, komunitas Gila Film, serta Jakarta Cinema Club.
Kami berangkat dari Bandung sekitar jam enam kurang, membawa kaus panitia, goodie bag yang akan dibagikan kepada para peserta, juga beberapa buku yang akan menjadi hadiah games dan kuis. Seperti biasa, Mas Peter yang sudah stand by di lokasi acara lumayan ketar ketir karena khawatir kami akan telat. Tapi ternyata tidak tuh :p Ketika kami tiba, masih ada cukup waktu untuk menyiapkan goodie bag (yang berisi majalah Cinemags (back-issue) dan mug). Acara nonbar dimulai sekitar jam 9.
Oke, sebelumnya saya pengakuan dosa dulu... Saya belum baca Inferno *muka datar*
Buku-buku Dan Brown yang sudah saya baca baru Da Vinci Code dan Angels & Demons. Itu pun sudah lama sekali hingga saya sudah lupa-lupa ingat alur ceritanya (lebih banyak lupanya daripada ingatnya).
Ketika menonton film ini, saya tidak punya ekspektasi apa-apa. Dan penilaian saya murni berdasarkan filmnya, tidak dicampuri oleh perbandingan dengan bukunya. Jadi, bagaimana kesan saya terhadap Inferno? Saya sangat terhibur. Film ini sarat adegan yang cinematis dan seru. Alur ceritanya jelas cepat, nyaris tak ada waktu untuk menarik nafas. Akting para pemainnya juga bagus.
Garis besar ceritanya,
Buat teman-teman yang sama sekali belum tahu...Inferno adalah nama sebuah virus yang diciptakan oleh seorang ekstremis bernama Zobrist. Menurutnya, pertumbuhan populasi manusia sudah tak terkendali, dan jika dibiarkan, dalam kurun waktu seratus tahun lagi, seluruh umat manusia akan binasa. Dia ingin melepaskan Inferno ke dunia agar setidaknya separuh populasi manusia di bumi ini tewas. Setidaknya, separuhnya lagi selamat. Sayangnya, sebelum Zobrist berhasil melakukan rencananya, dia tewas bunuh diri. Inferno telah dia sembunyikan di suatu tempat, dan dia meninggalkan sejumlah petunjuk menuju lokasi virus tersebut.
Kemudian, ada beberapa pihak yang mengincar Inferno. Ada pihak yang ingin mengamankan virus itu, ada pihak yang ingin menjualnya kepada penawar tertinggi, dan ada juga para pengikut Zobrist yang ingin menyebarkan virus itu. Profesor Robert Langdon terlibat dalam masalah ini karena dimintai tolong oleh salah satu pihak, untuk memecahkan petunjuk-petunjuk yang ditinggalkan oleh Zobrist.
Pertanyaan besarnya, tentu saja adalah, pada akhirnya Inferno jatuh ke tangan siapa?
Basilica Cistern | Sumber: turkeyportal.com |
Film Inferno yang sebagian besarnya mengambil latar belakang tempat di Florence (Palazzo Vecchio) dan Istanbul (Hagia Sophia dan Basilica Cistern) sukses membuat saya ingin mendatangi langsung tempat-tempat tersebut. Terutama Basilica Cistern. Suatu keinginan yang saya yakin tidak akan saya upayakan untuk terwujud :p
Teman-teman yang kemarin ikut nonton bareng, tiketnya jangan dibuang ya, karena itu bisa digunakan untuk membeli novel Inferno sampul movie tie-in dengan diskon 20%
Kiri: Inferno coloring book. Kemarin jadi hadiah kuis.
Kanan: Inferno versi terjemahan Bahasa Indonesia, cover movie tie-in.
Yang kanan bisa dibeli di mizanstore.com
Games-nya nampak seru ya, tapi saya dan rekan-rekan redaksi tidak ikut berpartisipasi; kami pamit untuk langsung kembali ke Bandung. Yah, tidak langsung sih... karena saya menyarankan untuk...
Melipir dulu ke Periplus
Dengan alasan "mungkin saja Midnight Star-nya Marie Lu sudah tersedia, jadi bisa segera diproses penerjemahannya," tapi ternyata buku pamungkas dari trilogi The Young Elites ini belum ada.Malah saya menemukan sebuah buku kecil dengan nama penulis favorit saya tercantum di sampul depannya: Neil Gaiman. Dan saya tergoda untuk membelinya. Buku ini berjudul Trigger Warning, kumpulan cerpen (dan juga puisi). Salah satu alasan saya menyukai karya Neil Gaiman adalah ini... tulisannya pendek, tapi sangat berkesan. Tidak seperti tulisan beberapa penulis lainnya yang pernah saya baca, yang dipanjang-panjangkan hingga berbuku-buku, padahal sebenarnya kisahnya bisa selesai dalam satu buku.
Buku lainnya yang sempat menggoda saya adalah After Alice, tapi karena harganya menurut saya di atas standar, saya urung mengadopsinya. Saya malah mengambil Six of Crows karya Leigh Bardugo, yang sebenarnya telah saya miliki versi PDF-nya. Ya, saya ngaku, dari awal memang saya naksir desain sampulnya -_-
Tentu saja rasanya kurang lengkap jika tidak melirik rak buku anak-anak... Dan di situ saya mengambil salah satu buku Bizzy Bear, yang berjudul Spooky House. Ilustratornya adalah Benji Davies; dan saya suka sekali gaya ilustrasinya (iya, saya yang suka, bukan anak saya :p). Ini buku Bizzy Bear ketiga yang saya beli. Sebelumnya sudah punya Farmyard Fun (yang sudah hancur lebur disobek-sobek Nafii) dan Deep-Sea Diver. Ini jenis buku dengan tabs yang bisa ditarik atau didorong dan memunculkan gambar-gambar tersembunyi.
Yah, dipikir-pikir, bulan ini saya sudah beli buku berapa banyak... sementara buku yang selesai dibaca baru satu... itu pun buku bergambar anak-anak! *tertawa miris* Ah, semoga tidak lama-lama terjebak dalam reading slump ^^.
Makasih sharingnya mba :) selamat baca :D
ReplyDeleteSama-sama ^^ thank you~
Delete