Monday, 30 March 2015

Tentang Muatan Kreatif, Komunitas, dan Medsos Karya Anak Bangsa

Secara berkala Mizan mengadakan acara yang disebut Mizan Executive Forum (MEF). Biasanya acara ini bersifat internal dan hanya melibatkan para pegawai kantor Mizan, tapi sesekali kawan-kawan dari luar Mizan juga diundang. Dalam setiap acara MEF, diundang seorang pembicara yang ahli di bidangnya, atau sekadar orang yang punya sesuatu yang inspiratif untuk dibagikan. Beberapa pembicara yang sudah pernah diundang ke MEF adalah Pak Anies Baswedan, Mbak Lien Auliya Rachmah (alm.), Pak Nukman Luthfie, dan Pak Gobind Vashdev

Hari Jumat, tanggal 27 Maret kemarin, pembicara yang diundang ke MEF adalah Mas Enda Nasution. Orang yang dijuluki sebagai "Bapak Blogger Indonesia" ini sudah mulai nge-blog sejak tahun 2001. Kalau mau tahu lebih banyak tentang dirinya, cari saja di Google; dijamin tidak akan salah orang deh :D
Sumber: Twitter @enda

Sebelum acara dimulai, saya sudah membatin bahwa materi yang akan disampaikan nanti pasti membakar semangat saya untuk lebih rajin menulis di blog, seperti halnya materi yang disampaikan oleh Pak Nukman beberapa waktu yang lalu... tapi ternyata tidak juga tuh :)) Karena temanya Creativity to Commerce, Mas Enda lebih menyoroti tiga hal ini: muatan, komunitas, dan perniagaan.

Commerce requires content, and content requires community.

Inti yang saya tangkap adalah, di zaman di mana aktifitas media sosial semakin semarak, dibutuhkan lebih dari sekadar muatan kreatif untuk bisa mendorong orang membeli suatu produk. Komunitas sangatlah penting, karena komunitas akan membantu menyebarkan suatu muatan dan memengaruhi pendapat orang terhadap muatan tersebut. Seberapa sering kamu membeli sesuatu atas rekomendasi orang lain?

Nah, berhubung muatan dan informasi yang beredar di dunia maya sangat banyak, muncul pertanyaan: bagaimana caranya membedakan antara informasi yang bagus dan buruk, yang benar dan keliru? Jawabannya, kita tidak bisa mengandalkan satu sumber saja. Kita harus bersikap kritis; mengumpulkan informasi dari berbagai sumber dan membandingkannya. Di sini lagi-lagi komunitas berperan besar, karena komunitas akan membantu kita mementukan mana muatan yang bagus dan mana yang buruk. Karena itulah, menurut saya kita perlu bergabung dengan komunitas tepercaya.

Smart phone doesn't guarantee smart users

Sumber: kolpri Miss Alin
Mas Enda juga menyampaikan fakta bahwa Jakarta adalah kota nomor satu yang aktifitas pengguna Twitter-nya paling tinggi. Pertanyaannya... Haruskah kita merasa bangga akan hal ini? Saya sih biasa-biasa saja. Menurut saya itu masuk diakal, karena orang Jakarta pasti punya banyak waktu Twitter-an sambil menunggu terurainya kemacetan lalu lintas yang mengerikan.

sebangsa.com

Salah satu proyek terbaru Mas Enda dan kawan-kawan adalah sebangsa.com, sebuah media sosial karya anak bangsa. Berangkat dari fakta di paragraf di atas, dan bahwa orang Indonesia sangat gemar beraktifitas di media sosial (bahkan katanya ada orang yang tahu istilah Facebook, tapi tidak tahu istilah internet. Wow, kan?), muncullah gagasan: Masa sih, orang Indonesia tidak bisa bikin media sosial sendiri? Setelah digodok sekitar dua tahun, akhirnya pada November 2014 kemarin, sebangsa.com diluncurkan (kalau saya tidak salah ingat). Saat ini pengguna sebangsa.com sudah sekitar 8.000 (kalau saya tidak salah ingat juga... maklum saja ya, saya lemah dalam hal matematika dan sejarah).

Penasaran, saya pun mendaftar ke sebangsa.com dan mengundang beberapa teman untuk ikut bergabung. Ternyata, setiap kali saya mengundang seseorang, secara otomatis muncul satu tweet. Saya kaget juga waktu melihat deretan tweet bernada sama itu di linimasa saya. Seorang teman malah mengira itu spam :)) Lanjut, saya pun melihat-lihat fitur apa saja yang ada di sebangsa.com, dan untuk sementara, saya simpulkan bahwa medsos ini seperti gabungan antara Twitter (penggunaan tagar, lambang @ di depan nama pengguna, dan opsi untuk mengikuti pengguna lain--tidak harus mengirimkan permintaan pertemanan) dan Facebook (bisa membuat grup dan postingan tidak dibatasi jumlah karakternya).

Ini contoh penampakan linimasa di sebangsa.com:














Mirip linimasa Facebook, di mana di sebelah kiri terhimpun grup yang kita masuki, juga ada fitur untuk memilih muatan-muatan apa saja yang ingin ditayangkan. Yang istimewa adalah fitur layanan publik Sebangsa 911 dan Sebangsa 1800. Sebangsa 911 berisi berita-berita terkait kriminalitas, di situ kita bisa melaporkan tentang kehilangan atau pencurian, misalnya. Kalau di Sebangsa 1800, kita bisa menyampaikan keluhan tentang pelayanan publik. Harapannya tentu saja laporan dan keluhan kita bisa lebih cepat ditindaklanjuti oleh pihak yang berwenang.

Ini contoh penampakan profil:














Di sini, postingan disebut "pesan" dan akan tercantum berapa banyak pesan yang sudah kita tulis di kiri atas (seperti Twitter dengan jumlah tweet-nya). Nah, yang unik di sini adalah fitur Lencana. Saya juga masih kurang tahu itu seperti apa sistemnya, tapi kayaknya sih lucu ya :D















Berhubung semua istilah di sini menggunakan Bahasa Indonesia, saya yang terbiasa dengan istilah-istilah Bahasa Inggris jadi agak bingung. Tapi tidak apa-apa, sebagai orang Indonesia memang sudah seharusnya saya belajar membiasakan diri dengan Bahasa Indonesia (yang baik dan benar) kan? :D Oh iya, satu hal yang saya suka dari sebangsa.com adalah logo yang digunakannya, berbentuk angklung! Duh, nyunda sekali :D

Terakhir, Mas Enda juga mengungkapkan bahwa ide-ide kreatif itu baik, tapi lebih baik lagi bila ide-ide tersebut dapat diaplikasikan untuk menyelesaikan suatu masalah. Seperti Sebangsa 911 dan Sebangsa 1800 yang diharapkan dapat menjadi solusi bagi pelayanan publik yang saat ini kurang cepat dan efisien. Jadi jika kita hendak memunculkan suatu ide, berangkatlah dari masalah yang ada.

To be valuable, ideas have to solve a certain problem

Mungkin apa yang saya rangkum di sini hanya sebagian kecil dari materi yang disampaikan Mas Enda, tapi saya harap dapat sedikit bermanfaat dan menginspirasi orang-orang yang membacanya. Semoga lain kali saya bisa berbagi tentang acara-acara MEF berikutnya.

Monday, 23 March 2015

NonBar Insurgent di TSM Bandung

Para peserta NonBar Insurgent di TSM Bandung
Ceritanya Hari Minggu, 22 Maret kemarin saya berkesempatan untuk mengikuti acara NonBar (nonton bareng) film Insurgent bersama kawan-kawan dari Penerbit Mizan Fantasi, Cinemags, dan Divergent ID. Acara NonBar ini diadakan di dua kota, Jakarta (Lotte Mart) dan Bandung (Trans Studio Mall). Saya ikut acara yang di Bandung karena lebih dekat rumah :D

Insurgent adalah sekuel film Divergent (rilis tahun lalu). Kedua film ini diadaptasi dari novel trilogi Divergent karya Veronica Roth, jadi sudah tentu nanti akan ada film ketiganya.

Acara menonton jam 12 siang, tapi saya dan rekan-rekan dari penerbit berjanji temu sekitar jam 10 di Gramedia TSM. Berhubung lokasi acara dekat rumah, saya santai-santai saja berangkatnya. Sampai di Gramedia, saya sempat lihat-lihat buku dulu. Novel Insurgent yang desain sampulnya movie tie-in sudah terpajang dengan apik di meja paling depan toko.
Sumber: Facebook Penerbit Mizan

Sewaktu kami naik ke Cinema XXI, sudah terdapat antrian yang sangat panjang (bukan hanya mengantri untuk tiket Insurgent saja sih, tapi juga untuk Cinderella dan Spongebob). Untungnya kami sudah terlebih dulu membeli tiket dong. Terus ada yang lucu juga, waktu kami masuk ke studio, kursi kami sudah ada yang menempati... seorang ibu dan anak perempuannya. Selidik punya selidik, ternyata mereka yang salah masuk studio. Fiuh... bisa kacau kalau anak itu nonton Insurgent... kan filmnya untuk dewasa muda ke atas :))

Kebetulan posisi duduk saya dan rekan-rekan di barisan paling atas, mendapat vantage point yang memungkinkan saya mengamati penonton-penonton lainnya.Tadinya saya kira satu studio akan penuh penonton, apalagi ini akhir pekan, tapi ternyata tidak. Beberapa barisan bawah kosong melompong.

Insurgent


Setelah insiden yang terjadi di faksi Abnegation, Tris (Shailene Woodley) dan Four (Theo James), bersama dengan Caleb (Ansel Elgort), Marcus, dan Peter (Miles Teller) mencari suaka di faksi Amity yang memang terkenal cinta damai. Johanna, pemimpin faksi Amity, menerima mereka dengan syarat selama berada di sana mereka tidak boleh melakukan kekerasan. Tapi dasar Tris orangnya panasan, begitu diledek-ledek sama Peter, dia langsung naik pitam dan menghajar cowok (yang memang menyebalkan) itu. Hari-hari damai di faksi Amity pun berakhir, apalagi faksi Erudite tiba-tiba menerobos masuk dengan alasan mau melakukan pengujian baru untuk mendeteksi para Divergent. Tris, Four, dan Caleb berhasil kabur, kemudian mereka terdampar di markas para factionless.

Four menyarankan agar mereka pergi ke faksi Candor, karena di sanalah sebagian anggota faksi Dauntless yang tidak mau bergabung dengan Erudite berkumpul. Tapi Caleb tidak mau ikut, dia ingin kembali ke faksi Abnegation dan memperbaiki entah apa yang masih tersisa di sana, Di markas Candor, Tris dan Four harus menjalani tes yang melibatkan serum kejujuran untuk membuktikan diri bahwa mereka tak bersalah. Belum sempat beristirahat, mereka kembali diserang... rupanya Jeannine, pemimpin Erudite, sedang gencar mencari orang-orang Divergent. Dia sangat yakin bahwa seseorang yang memiliki kadar Divergent 100% dapat membuka kotak 'pandora' berisi pesan penting dari para pendiri sistem lima faksi. Pesan tersebut akan membawa perubahan besar.... tapi apakah perubahan itu ke arah yang lebih baik?
Tris & Four. Sumber: IMDb
Secara pribadi, saya lebih suka Tris yang berambut panjang... jadi saya sedih sewaktu dia memangkas rambutnya habis-habisan T___T Kenapa tidak sekalian dibotakin saja seperti yang dilakukan Natalie Portman di film V for Vendetta?? Terlepas dari itu, akting Shailene Woodley di Insurgent jelas lebih baik dibandingkan di Divergent; dia bisa menampilkan Tris yang kuat dan penuh amarah dengan baik.

Sedangkan Four... yah, dari awal memang saya kurang setuju Four diperankan oleh Theo James. Theo terlalu dewasa. Dan ini kentara sekali terlihat ketika dia bersanding dengan ibunya, yang diperankan oleh Naomi Watts. Mereka lebih cocok sebagai kakak dan adik dibandingkan ibu dan anak. Soal akting sih saya percaya sama Theo James... saya sudah terpesona dengannya sejak dia memerankan vampir David di film Underworld.

Caleb Prior, abangnya Tris. Sumber: IMDb
Di luar dugaan, saya merasa kesal dengan Ansel Elgort yang memerankan Caleb di film ini. Apakah mungkin saya terlalu banyak berharap, setelah menyaksikan kerennya Ansel memerankan Augustus Waters di The Fault in Our Stars? Karakter Caleb membuat saya ingin menarik kerah bajunya dan mengguncang-guncangnya dengan kencang supaya otaknya kembali waras. Apakah jalan pikiran semua orang yang pintar itu begitu? Sungguh tidak berperasaan.

Four, Peter, & Tris. Sumber: IMDb
Di luar dugaan pula, karakter Peter yang seharusnya menyebalkan malah jadi kocak dan menggemaskan (bukan dalam makna positif) di sini. Miles Teller sungguh sukses memerankannya.

Christina, Tori, & Uriah. Sumber: IMDb
Tokoh-tokoh lainnya lumayan oke. Porsinya kecil-kecil, mungkin karena keterbatasan waktu ya. Saya rasa tokoh Christine (sahabat Tris) kurang banyak porsinya. Ketegangan antara dia dan Tris kurang terasa. Begitu pula tokoh Tori. Kehebatan dia dalam mematahkan teknologi terbaru Erudite seharusnya lebih diperlihatkan.

Jeannine, Johanna, Jack Kang. Ketiganya menyebalkan dan nama ketiganya diawali huruf J.
Tanya kenapa? Tanya Veronica Roth dong :p Sumber: IMDb
Di Divergent kita telah berkenalan dengan pemimpin Dauntless (Eric), pemimpin Erudite (Jeannine), dan pemimpin Abnegation (Marcus) yang menyebalkan. Nah, di Insurgent kita akan berkenalan dengan dua pemimpin faksi lainnya: Amity (Johanna) dan Candor (Jack Kang), lengkap dengan ucapan khas faksi mereka: Amity dengan Go with happiness, dan Candor dengan Thank you for your Candor (honesty). Kedua pemimpin ini juga agak-agak menyebalkan sifatnya. Bersembunyi di balik "demi kebaikan bersama." Hmm... jadi intinya semua pemimpin itu menyebalkan ya? Hahaha.

Selanjutnya?

Dengar-dengar, film ketiganya nanti, Allegiant, akan dibagi ke dalam dua bagian. Saya belum bisa berkomentar apakah ini hal yang baik atau buruk, mengingat saya belum baca bukunya. Jika memang banyak adegan penting di dalamnya, yang tidak seharusnya dihilangkan, tentu membaginya ke dalam dua film adalah keputusan yang bijaksana. Tapi jika nantinya jalan cerita terkesan dipanjang-panjangkan (seperti dalam kasus film The Hobbit), mungkin saya akan kecewa.

Seru-Seruan Pasca Nonbar

Setelah beres nonton dan keluar dari studio, kami tidak langsung bubar jalan. Kami menuju ke Gramedia untuk mengadakan acara kuis dan bagi-bagi hadiah berupa buku dan merchandise Divergent. Seperti tahun lalu, yang memandu acara adalah Mas Andri. Walaupun peserta tidak banyak dan tempatnya juga tidak representatif, secara keseluruhan acaranya cukup seru. Terutama yang bikin ketawa tuh waktu Mas Andri berperan sebagai Four dan ada lima orang peserta yang diminta untuk berperan sebagai Tris dan menunjukkan ekpresi terkejut dan terpesona Tris ketika pertama kali melihat tato di punggung Four.

Karena di acara NonBar tahun lalu saya datang dengan pakaian hitam-putih ala faksi Candor,
kali ini saya memilih warna cokelat membuminya faksi Amity.
Di sebelah saya ada Miss I yang berpakaian biru-biru ala faksi Erudite.
Terima kasih kepada kawan-kawan yang sudah berpartisipasi! Yang belum sempat ikutan, jangan khawatir, kami tunggu di acara NonBar berikutnya. Semoga acara-acara NonBar berikutnya akan lebih ramai dan lebih seru dari ini.

Tuesday, 17 March 2015

Ingin Baca Ini, Baca itu, Baca Semuanya!

Terlalu banyak buku, terlalu sedikit waktu untuk membacanya.

Tumpukan buku yang sedang dan akan dibaca
Sebagai pencinta buku, ini masalah klasik, dan saya yakin bukan saya saja yang mengalaminya. Hahaha. Faktanya, semakin banyak buku yang sudah dibaca, semakin banyak pula buku yang ingin dibaca. Seolah-olah satu buku merekomendasikan sepuluh buku lainnya. Walhasil, daftar keinginan pun semakin panjang dan tak habis-habis.

Dari kecil saya memang gemar membaca, tapi tidak pernah sampai kelimpungan mencari waktu luang untuk membaca habis buku-buku yang sudah dibeli (seperti saat ini). Memang, lingkungan sangat berpengaruh. Saya merasakan sendiri, setelah bekerja di sebuah perusahaan penerbitan, saya mendapat banyak informasi tentang buku, dan banyak buku yang menggoda untuk dibeli dan dibaca.

Selain itu, kemudahan berbelanja buku lewat internet juga berpengaruh. Dulu, untuk membeli buku saya selalu datang ke toko buku. Sampai sekarang pun sebenarnya saya lebih suka datang langsung ke toko buku dan memegang bentuk fisik buku yang ingin dibeli. Ada kesenangan tersendiri jika datang langsung ke toko buku dan melihat buku-buku berjajar di rak. Sayangnya, sekarang waktu untuk berjalan-jalan ke toko buku sulit sekali kuluangkan. Ada hal-hal lain yang harus diprioritaskan.

Beli atau Pinjam?

Keinginan saya untuk membeli buku selalu bertentangan dengan kondisi keuangan, jadi bagaimana menyiasatinya? Saya selalu meninjau ulang daftar keinginan, memilah-milah buku mana saja yang layak baca dan dikoleksi, dan mana saja yang layak baca tapi tidak layak dikoleksi. Biasanya saya hanya akan membeli buku-buku dalam kategori pertama. Sedangkan untuk buku-buku dalam kategori kedua, saya lebih suka pinjam (atau sewa) atau mencarinya dalam format e-book. Domisili saya di Bandung, dan biasanya saya sewa buku di Pitimoss Library. Saya sudah menjadi anggota di sana sejak zaman SMA (berarti sudah sepuluh tahun lebih).

Layak Baca dan Dikoleksi

Seperti apa buku-buku yang menurut saya layak baca dan dikoleksi? Yang saya suka cerita dan desain sampulnya. Ya, bagi saya, desain sampul adalah bagian yang sangat penting dari sebuah buku. Saya suka memandangi koleksi buku yang dipajang di rak, dan tentu saja yang terlihat mata adalah desain sampulnya kan? Jika ada orang yang merekomendasikan sebuah buku bagus, pasti saya lihat desain sampulnya dulu. Kalau sampulnya saya suka, kemungkinan besar saya akan membelinya. Tapi kalau tidak, ya pinjam atau cari e-book saja. Perkecualian untuk buku yang ceritanya benar-benar bagus... walaupun sampulnya tidak bagus, saya mungkin akan membelinya... dan melapisinya dengan sampul lain. Hehe.
Jenis-jenis desain sampul yang menggoda iman saya.. huhu...

Baca di Rumah, Baca di Kantor, Baca di Mana-Mana

Saya biasa baca beberapa buku sekaligus. Kalau sedang di kantor, saya baca buku-buku yang ada urusannya dengan pekerjaan; naskah buku yang akan terbit, atau buku yang dievaluasi kelayakan terbitnya. Kalau sedang di rumah, baru baca buku murni untuk bersenang-senang. Biasanya saya baca buku sambil sarapan atau makan malam. Kalau ada buku yang seru, saya bisa bangun tengah malam dan membacanya selama satu atau dua jam. Waktu selebihnya saya habiskan bersama keluarga, terutama anak saya.

Saya juga membaca ketika bepergian (kalau perginya tidak bersama anak), misalnya sewaktu nunggu antrian di rumah sakit. Tapi saya tidak mau lagi membaca di dalam kendaraan yang bergerak, karena cepat sekali membuat saya merasa pusing dan mual. Yang pasti, saya selalu usahakan membawa buku di tas.

Buku-Buku Favorit Saya

Istilah buku itu sangat umum dan luas ya. Buku-buku macam apa yang suka saya baca? Novel dan komik. Saya pernah juga baca buku-buku nonfiksi (ya, buku pelajaran dan buku teks kuliah kan nonfiksi... hehe), tapi saya jauh lebih suka buku-buku fiksi.

Lebih spesifik lagi, saya suka novel dengan genre fantasi, horor, misteri, thriller. Salahkan RL Stine yang meracuni saya dengan serial Goosebumps dan Fear Street-nya ketika saya masih SD :)) Saya kurang suka novel yang pure romance dan komedi. Novel yang terlalu "manis" cenderung membuat saya mual dan setengah mati menyelesaikan membacanya.

Kalau komik, saya suka komik Jepang alias manga. Akhir-akhir ini saya juga suka komik-komik karya komikus Indonesia, dan saya senang sekali industri komik di Indonesia tampaknya semakin maju.
Karya-karya komikus lokal

Selain novel dan komik, saya juga suka buku-buku cerita anak, apalagi yang banyak ilustrasi berwarnanya. Setelah punya anak, saya merasa semakin punya alasan untuk membeli buku cerita anak-anak. Haha.

Ayo Membaca

Ada yang bilang, menghabiskan timbunan buku itu mustahil... karena selalu ada saja tambahan buku-buku baru. Kecepatan membeli lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan membaca. Yah, mungkin memang benar, tapi saya ingin tetap optimistis. Harus tetap membaca, walau terkadang semangatnya menurun, walau terkadang lebih suka nonton film (bisa tidak, menonton sambil membaca?). Yuk, membaca :)